Jumat, 18 Maret 2011

Kriteria Ulama Yang Dalam Al Qur'an Disifati Seperti Anjing


...........tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)........(QS. Al A'raf : 176)

--------------------------------------------------------------------------------------------
Saya berfikir tentang terjadinya saling hasud dan dengki antar ulama. Saya sadar kemudian bahwa itu berakar pada cinta dunia. Ulama-ulama pendamba akhirat tentulah selalu saling mencintai dan tidak pernah terpaku oleh dengki, sebagaimana firman Allah :
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al Hasyr : 9)
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". ((QS. Al Hasyr : 10)
Abu Darda, seorang sahabat Rasulullah, selalu berdoa bagi sahabat-sahabat yang lain setiap malam. Imam Ahmad pernah berkata kepada putra Imam Syafi'i ; "Ayahmu termasuk salah satu dari enam orang yang selalu saya doakan setiap saat menjelang pagi."
Di sini jelaslah perbedaan antara ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia matanya selalu mengincar kursi-kursi kekuasaan, mereka senang pujian dan harta benda, sedangkan ulama akhirat jauh dari pengaruh-pengaruh yang demikian. Mereka selalu berhati-hati dan takut terlibat di dalam hal-hal seperti itu dan prihatin dengan ulama-ulama yang terjebak di dalamnya. An Nakha'i, seorang ulama yang sangat terkemuka pada masanya, malah tidak pernah memiliki pembantu.
Al Qamah berkata : "Aku suka sekali bila tumitku diinjak." Jika empat orang ulama akhirat telah berkumpul, maka salah satunya akan pergi khawatir akan terjadi ghibah. Mereka tidak mudah mengeluarkan fatwa dan selalu menghindar dari ketenaran. Mereka laksana orang yang akan mengarungi lautan, dengan menyibukkan diri berbekal agar selamat dari gempuran badai dan gelombang. Mereka saling mendoakan satu dengan yang lainnya, saling memberi manfaat dan saling mmembantu, karena mereka adalah penumpang yang saling bersahabat hingga bisa mencintai. Malam dan siang mereka selalu mengarah kepada surga. (Imam Ibnu Jauzi dalam "Shaidul Khathir")
Suatu ketika Ibnu Taimiyyah bersama dengan sejumlah ulama Damsyik pergi berjumpa dengan Raja Tatar yang bernama Qazan. Raja Tatar tersebut telah menganut Islam, tetapi melakukan penyelewengan dan kezaliman terhadap umat Islam. Ibnu Taimiyyah masuk untuk menasihatinya. Dengan nada tegas dan pesan yang jelas Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah menasehati Raja Qazan.
Kata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah kepada penterjemah Raja Qazan: “Beritahu Qazan, engkau seorang muslim, aku dengar bersama engkau banyak para ulama. Kenapa engkau memerangi negeri kami? Bapak dan datuk engkau Hulako dahulu adalah kafir, tetapi mereka tidak menyerang negeri kami, sebaliknya membuat perjanjian. Adapun engkau berjanji tetapi mungkir, berkata tetapi tidak amanah.”
Kemudian berlangsunglah dialog antara Ibnu Taimiyyah dan Raja Qazan. Bersama itu Raja Qazan menjamu sekalian yang hadir ke majlis tersebut dengan hidangan. Semua yang hadir makan dengan nikmatnya. Namun Ibnu Taimiyyah tidak mau makan. Lalu Raja Tatar itu bertanya: “Mengapa engkau tidak mau makan?”.
Jawab Ibnu Taimiyyah: “Bagaimana aku hendak makan, kesemua ini adalah hasil rampasanmu ke atas harta orang banyak? Dan kamu memasaknya dengan menggunakan kayu yang kamu potong daripada pohon-pohon milik orang-orang!”.
Kata Raja Qazan: “Berdoalah untukku”.
Maka Ibnu Taimiyyahpun mendoakannya: “Ya Allah, jika hambaMu ini seorang yang mulia, berperang untuk meninggikan kalimahMu, maka bantulah dia, kuatkan kerajaannya. Namun jika dia berperang kerana popularitas, untuk mengangkat dirinya dan menghina Islam, maka ambillah tindakan terhadapnya”.
Sedangkan Ulama-ulama dunia sedang makan dengan asyiknya hidangan Raja Tatar itu, masing-masing mengangkat jubah mereka. Lalu Ibnu Taimiyyah bertanya mereka: “Mengapa kamu semua mengangkat jubah?”.
Jawab mereka: “Kami takut jika Raja memancung kepala engkau, nanti darah engkau akan terkena jubah kami”. (ciri-ciri ulama penjilat dan mementingkan penampilan, red)
Setelah keluar dari majlis mereka berkata kepada Ibnu Taimiyyah: “Engkau telah telah membahayakan kami, kami tidak mau bersama dengan engkau lagi”. Jawab Ibnu Taimiyyah: “Aku pun tidak mau bersama kamu semua lagi” (lihat: Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 14/92, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Saya memetik cerita ini untuk menggambarkan kadang-kala betapa banyak mereka yang memakai gelaran agama seperti ulama, syeikh, mufti dan seumpamanya yang mementingkan jubahnya agar tidak kotor atau tercemar lebih daripada mementingkan tanggungjawab mereka sebagai ilmuwan Islam untuk menegakkan kebenaran karena Allah.
Jika Ibnu Taimiyyah tidak makan karena membayangkan nilai makanan yang dijamu, sementara ulama-ulama yang lain asyik dengan berbagai kenikmatan. Apakah ulama sekarang akan mencontoh sikap Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, atau akan meniru ulama-ulama dalam majlis Qazan itu lalu mereka juga akan asyik menikmati jamuan mewah yang melampaui batas yang menggunakan harta rakyat.
Hari ini mungkin banyak ulama sudah tidak takut lagi jubah putih mereka tercemar, karena mereka memiliki koleksi pakaian yang cukup banyak hasil dari kemewahan.
Apabila ulama mengutamakan kepentingan sendiri, maka umat akan kehilangan garis panduan terutama pada waktu gawat dan getir. Pandangan dan pendapat yang benar disembunyikan sedangkan umat kehausan bimbingan. Jika memiberikan pandangan pun hanya pada suatu kepentingan yang menguntungkan duniawi.
Ulama yang seperti inilah yang menjual fatwa untuk kepentingan kedudukan, pangkat dan harta. Umat akan keliru, bahkan mungkin akan tersesat. Maka , janganlah heran jika al-Quran mensifatkan golongan mereka seperti anjing, melainkan golongan ulama yang menjual agamanya untuk mendapatkan kenikmatan dunia.
Firman Allah:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
(maksudnya) “Dan bacakanlah kepada mereka (Wahai Muhammad), khabar berita seorang yang Kami beri kepadanya (pengetahuan mengenai) ayat-ayat kami. kemudian dia menjadikan dirinya terkeluar darinya, lalu syaitan mengikutnya, maka jadilah dia daripada orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami kehendaki niscaya Kami tinggikan pangkatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia mau kepada dunia dan menurut hawa nafsunya; maka bandingannya seperti anjing, jika engkau menghalaunya, dia menjulurkan lidahnya, dan jika engkau membiarkannya: dia juga menjulurkan lidahnya. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. maka ceritakanlah kisah-kisah itu supaya mereka berfikir”. (Surah al-A’raf: ayat 175-176).
Ayat ini telah menyamakan ulama yang menjual nilai ajaran Allah hanya untuk kepentingan dunianya sama seperti anjing. Padahal jika dia berpegang atas prinsip ilmu dia tetap akan mendapat kemuliaan. Namun, dia telah disilaukan dengan tawaran dunia. Samalah dia seperti anjing yang senantiasa menjulurkan lidah. Anjing menjulurkan lidah disebabkan kepanasan badannya, atau oksigen yang tidak cukup bagi tubuhnya. Demikian ulama yang sentiasa kepanasan karena kehausan duniawi.
Maka Allah menjanjikan bagi ulama yang menyembunyikan kebenaran balasan yang dahsyat. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلا النَّارَ وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
(maksudnya) “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa keterangan Kitab suci yang telah diturunkan oleh Allah, dan membeli dengannya harga yang sedikit, mereka itu tidak mengisi dalam perut mereka selain daripada api neraka, dan Allah tidak akan berkata-kata kepada mereka pada hari kiamat, dan ia tidak membersihkan mereka (dari dosa), dan mereka pula akan beroleh azab yang pedih”. (Surah al-Baqarah: ayat 174).
Bagi ulama yang telah menyembunyikan kebenaran dan menyelewengkan fakta yang sebenarnya tiada jalan untuknya mendapat keampunan melainkan taubat dan menerangkan semula kebenaran yang disembunyikan atau fakta yang diselewengkan.
Firman Allah (maksudnya):
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari keterangan-keterangan dan petunjuk hidayah, sesudah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Kitab suci, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh sekalian makhluk. Kecuali orang-orang yang bertaubat, dan memperbaiki (penyelewengan mereka) serta menerangkan (apa yang mereka sembunyikan); maka orang-orang itu, Aku terima taubat mereka, dan Akulah Yang Maha Penerima taubat, lagi Maha Mengasihani. (Surah al-Baqarah: ayat 159-160).


Wallahu a'lam.
Anwar Baru Belajar
Dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dari catatan DR. Asri Zainul Abidin seorang ulama dari Malaysia.